2.1 Sejarah
timbulnya HAM
Dalam
sejarah Barat, HAM berupa pengakuan terhadap hak-hak moral dasar tentang harkat
dan martabat manusia telah berkembang sejak zaman Yunani Kuno (khususnya Stoa),
Romawi Kuno, abad pertengahan Kristen, sampai zaman modern. Pada perkembangan
selanjutnya, tepatnya di Inggris pada abad 17, HAM telah dikodifikasi dalam
berbagai dokumen, seperti Magna Charta Libertatum, 1215,Habeas Corpus, 1679, Bill of Right, 1689, yang kemudian sangat berpengaruh bagi
munculnya United State Constitution di Amerika,
1789. Sementara di Prancis, muncul Declaration of the Rights of Man and Citizen. Contoh-contoh yang diberikan Inggris,
Amerika dan Prancis ini kemudian banyak mempengaruhi konstitusi tertulis
berbagai negara di Benua Eropa seperti Belanda (1798), Swedia (1809), Spanyol
(1812), Norwegia (1814), Belgia (1831), Liberia (1847), Sardinia (1848),
Denmark (1848) dan Prusia (1850).
Pada
perkembangan berikutnya, sejarah modern HAM muncul dalam berbagai upaya politik
dan hukum dalam skala yang lebih besar atau internasional. Pada abad 19, lahir
upaya-upaya untuk menghapus perbudakan dan melindungi hak kaum buruh. Upaya ini
terus berlanjut sampai pada akhirnya Liga Bangsa-Bangsa tahun 1926
mengkodifikasikan The League of Nations Conventions to Suppress the Slave Trade and
Slavery (Konvensi Liga
Bangsa-Bangsa untuk Menghapus Perbudakan dan Perdagangan Budak). Keprihatinan
terhadap HAM juga muncul dengan dibentuknya International Labour Organization (Organisasi
Buruh Internasional) pada 1919 sertaInternational Committee of the
Red Cross (Komite
Palang Merah Internasional) pada saat Konferensi Internasional di Jenewa tahun
1863.
Meletusnya Perang Dunia II pada 1939 menjadi titik balik
bagi HAM. Bebagai pengalaman Perang Dunia II mencapai titik klimaksnya berupa
pembunuhan massal umat Yahudi oleh NAZI dan membiarkan pemenang perang
menghilangkan jalan bagi jaminan HAM dan kebebasan. Hal ini memunculkan
kesadaran akan pentingnya menciptakan struktur yang menegakkan perdamaian antar
negara di garis akhir. Selama priode ini pula, Presiden Amerika, Roosevelt
memberkan pidatonya yang terkenal dengan “Pesan 6 Januari 1941” yang menegaskan
empat kebebasan berdemokrasi. Selanjutnya pada 1944 lahir Deklarasi
Philadelphia yang diadopsi dari konferensi ILO yang diadakan pada Mei 1944.
Deklarasi tersebut menegaskan pentingnya menciptakan perdamaian dunia
berdasarkan keadilan sosial dan perlindungan seluruh umat manusia dalam
mengejar perkembangan material dan spiritual mereka secara bebas, bermartabat,
aman secara ekonomi dan kesamaan kesempatan.
Perkembangan
selanjutnya dari HAM tidak bisa dilepaskan dari keberadaan dan peran PBB. PBB
lahir di tengah pencarian upaya untuk membangun aliansi antar negara untuk
memastikan perdamaian dunia. Pada 26 Juni 1945 lahirlah Piagam PBB yang pada
intinya memiliki tiga gagasan dasar, yakni, pertama, keterkaitan antara perdamaian, keamanan
internasional dan kondisi yang lebih baik bagi kesejahteraan ekonomi dan sosial
di satu sisi dengan perhatian terhadap HAM di sisi yang lain. Kedua, perlindungan
internasional terhadap HAM disebutkan sebagai salah satu tujuan utama PBB. Ketiga, negara-negara
anggota anggota diberikan tugas legal untuk memastikan bahwa hak-hak dan
kebebasan yang ada ditegakkan secara luas dan efektif.
Rentang
sejarah HAM kemudian ditandai dengan terbentuknya Komisi HAM PBB pada 16
Februari 1946. Komisi ini mengajukan usulan kepada Dewan Umum PBB tentang
pentingnya suatu Deklarasi Universal HAM, Konvensi tentang kebebasan sipil,
status perempuan, kebebasan informasi, perlindungan warga minoritas dan
pencegahan diskriminasi. Sebagai hasilnya, pada 1948, lahirlahUniversal Declaration of Human Rights (UDHR) yang
merupakan tonggak paling penting bagi pengakuan dan perlindungan HAM
internasional. UDHR diyakini mampu memberikan definisi paling sahih mengenai
kewajiban menghormati HAM bagi sebuah negara yang ingin bergabung dengan PBB.
Menyusul
disetujuinya UDHR, PBB kemudian mengundangkanInternational Covenan on Civil
and Political Rights (ICCPR) danInternational Covenan on
Economic, Social and Cultural Rights(ICESCR) pada 1966, yang
kemudian diikuti dengan dua Protokol Fakultatif pada Hak Sipil dan Politik.
UDHR dan dua Kovenan ini kemudian lazim disebut sebagai International Bill of Rights (Undang-undang
HAM Internasional). Ditinjau dari perspektif hukum, dengan adanya International Bill of Rights ini, maka
HAM memiliki kekuatan hukum mengikat, khususnya bagi negara-negara penanda
tangan.
Berbagai peraturan tentang HAM internasional baik berupa
Deklarasi, Kovenan, Traktat, Perjanjian, kemudian lazim disebut sebagai Konvensi.
Saat ini, PBB telah menghasilkan banyak sekali Konvensi yang mengatur berbagai
hak dasar manusia, mulai dari ICCPR dan ICESCR, perlindungan terhadap anak,
wanita, golongan minoritas, buruh, ketentuan hukuman mati, dan lain-lain. Saat
ini, tercatat 90 lebih Konvensi yang telah dihasilkan PBB.
Dalam
perdebatan tentang HAM, hak-hak yang tercantum dalam berbagai Konvensi PBB di
atas mengkerucut pada pengelompokan HAM yang dibagi ke dalam tiga generasi.
Generasi HAM menggambarkan isi dan ruang lingkup serta jenis HAM. Pembagian HAM
menjadi tiga generasi pada awalnya dikemukakan oleh Karel Vasak, yaitu generasi
pertama yang terdiri dari hak-hak sipil dan politik (liberte), generasi kedua, terdiri dari hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya (egalite) dan
generasi ketiga, terdiri dari hak-hak solidaritas (fraternite).
Generasi
pertama HAM yang terdiri dari hak-hak sipil dan politik berasal dari tradisi
intelektual Abad 18 yang diwarnai oleh semangatEnlightment dan
perkembangan filsafat politik liberal. Sebagai pengaruh dari faham liberal dan
doktrin sosial ekonomi laissez faire,generasi ini meletakkan posisi HAM pada
terminologi yang negatif. Generasi ini menghargai ketiadaan intervensi negara
dalam HAM. Hak-hak dari generasi pertama juga sering disebut sebagai negative rights dimana
langkah yang lebih 3diperlukan adalah proteksi daripada realisasi. Hak-hak dari
generasi ini tertuang dalam pasal-pasal 2-21 UDHR dan ICCPR.
Sementara
generasi kedua yang terdiri dari hak-hak ekonomi, sosial dan budaya berakar
pada tradisi Sosialis, khususnya Saint Simon pada awal Abad 19 di Prancis dan
diperkenalkan melalui perjuangan revolusioner. Hak-hak dari generasi ini
merupakan respon terhadap pelanggaran dan penyelewengan dari perkembangan
kapitalis. Generasi kedua sering juga disebut sebagai positive rights, karena
menuntut peran yang lebih aktif dan intervensi dari negara. Hak-hak ini dapat
ditemukan pada pasal 22-27 UDHR dan ICESCR.
Adapun generasi ketiga mencakup hak-hak solidaritas dan
merupakan rekonseptualisasi dari dua generasi sebelumnya. Generasi ini juga
sering didefiniskan sebagai hak kolektif karena hak-hak yang diperjuangkan
lebih merupakan hak-hak yang dimiliki oleh suatu komunitas, populasi,
masyarakat atau negara ketimbang hak-hak perorangan. Kemunculan generasi ini
dapat difahami sebagai produk dari proses kebangkitan dan kejatuhan
negara-negara pada abad 20. Pasal 28 UDHR, mencantumkan hak dari generasi ini.
Sejarah
mutakhir perkembangan HAM menunjukkan tingkat penerimaan yang tinggi terhadap
ide ini di berbagai belahan dunia, baik Barat maupun non Barat. Berbagai
organisasi regional seperti di Eropa Barat, Amerika, Afrika dan Asia juga
membuat berbagai peraturan dan perjanjian HAM. Langkah ini kemudian
menghasilkan berbagai instrumen regional HAM, diantaranya, European Convention on Human
Rights (ECHR)
1952, American
Convention on Human Rights (ACHR) 1969, African (Banjul) Charter on Human and People’s Rights, 1981, Bangkok Declaration 1993, Asian Human Rights Charter,1997
dan Cairo Declaration on Human
Rights in Islam,1990.Sementara di tingkat nasional, sebagian besar
Konvensi PBB mendapat persetujuan mayoritas negara anggota. Dukungan ini
terlihat dari tingginya jumlah penandatangan berbagai Konvensi yang telah
dihasilkan PBB.
Saat ini, HAM, menurut Rhoda E. Howard mengutip pendapat
Durkheim, telah menjadi fakta sosial, dimana cara bertindak, berfikir dan
merasa yang berada di luar individu dan mendapat kekuatan koersif, yang menjadi
alasan mengendalikan manusia. Sebagai fakta sosial, HAM mempengaruhi kebijakan
publik, membantu kelompok dan individu mendapatkan keadilan dan membangkitkan
perasaan malu di kalangan yang menikmati HAM dan mengetahui bahwa orang lain
tidak demikian. Konsensus tentang jenis keadilan seperti HAM ini berpengaruh
pada tindakan sosial di seluruh dunia. Dalam pengertian ini, konsensus ini
(HAM) menjadi ideologi sosial universal. Singkatnya, HAM telah menjadi
kenyataan objektif perkembangan sosial masyarakat dan dapat dikatakan menjadi
ide yang paling mendapat penerimaan dan pengakuan dari sebagian besar negara di
dunia.
2.2 PENGERTIAN HAK
ASASI MANUSIA (HAM)
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan kumpulan hak-hak dasar yang dimiliki
manusia. Hak-hak ini inheren dalam kedirian manusia dan dimiliki sejak lahir.
Seseorang mendapat hak-hak dasar ini karena dia manusia. Sehingga, HAM juga
sering disebut sebagai negative rightsatau hak-hak yang pada
dasarnya tidak membutuhkan pengakuan hukum tentang keberadaannya. Tanpa diatur
dalam sebuah perundang-undangan atau perjanjian internasional-pun, HAM memang
sudah ada. Jenis hak ini pada awalnya muncul karena maraknya berbagai tindakan
yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Berbagai tindakan tidak
berprikemanusiaan seperti pembunuhan, genoside, perbudakan,
penjajahan, dan lain-lain telah mewarnai sejarah manusia. Maka, kemunculan HAM
pada dasarnya sangat terkait dengan semangat pembelaan terhadap harkat dan
martabat manusia. HAM muncul untuk mengembalikan hak-hak dasar manusia yang
saat itu telah banyak tercerabut.
Secara umum, HAM dapat
didefinisikan sebagai hak-hak yang diklaim dimiliki oleh semua orang tanpa
memperhatikan negara, ras, suku, budaya, umur, jenis kelamin dan lain-lain.
Hak-hak ini bersifat universal dan dapat diterapkan pada siapapun dan
dimanapun. Namun, tidak semua klaim tentang hak, terutama dari kelompok atau
orang tertentu dapat disebut HAM. Sebagai contoh, tuntutan seorang dosen atas
tambahan gaji atau perbaikan fasilitas kantornya tidak dapat disebut ‘hak’ atau
HAM jika tuntutan tersebut mereduksi tingkat kualitas pendidikan mahasiswa.
Dalam kasus ini, maka pendidikan yang diklaim sebagai HAM, yaitu bahwa hak
mahasiswa atas pendidikan memiliki prioritas yang lebih tinggi ketimbang
tuntutan dosen tersebut. Dengan demikian, jika terjadi konflik yang diakibatkan
oleh adanya klaim hak dari orang atau kelompok tertentu maka HAM diprioritaskan
dan mengatasi setiap klaim yang ada. Sebuah klaim hak untuk kepentingan orang
atau kelompok tertentu tidak boleh bertentangan dengan hak-hak fundamental yang
dimiliki oleh setiap orang.
Ruang lingkup HAM meliputi:
1.
Hak pribadi: hak-hak persamaan hidup,
kebebasan, keamanan, dan lain-lain;
2.
Hak milik pribadi dan kelompok sosial
tempat seseorang berada;
3.
Kebebasan sipil dan politik untuk dapat
ikut serta dalam pemerintahan; serta
4.
Hak-hak berkenaan dengan masalah ekonomi
dan sosial.
Hakikat Hak Asasi Manusia sendiri adalah merupakan upaya menjaga
keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan antara
kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga upaya
menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia menjadi
kewajiban dan tangung jawab bersama antara individu, pemeritah (Aparatur
Pemerintahan baik Sipil maupun Militer),dan negara.
Berdasarkan beberapa rumusan hak asasi manusia di atas, dapat ditarik kesimpulan
tentang beberapa sisi pokok hakikat hak asasi manusia, yaitu :
a. HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun di warisi, HAM adalah bagian
dari manusia secara otomatis.
b. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama,
etnis, pandangan politik atau asal usul sosial, dan bangsa.
c. HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi
atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah negara
membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.
2.3 Negara Hukum
Istilah
Negara Hukum baru dikenal pada Abad XIX tetapi konsep Negara Hukum telah lama
ada dan berkembang sesuai dengan tuntutan keadaan. Dimulai dari jaman Plato
hingga kini, konsepsi Negara Hukum telah banyak mengalami perubahan yang
mengilhami para filsuf dan para pakar hukum untuk merumuskan apa yang dimaksud
dengan Negara Hukum dan hal-hal apa saja yang harus ada dalam konsep Negara
Hukum.
Perkembangan
Negara Hukum sudah terjadi sejak jaman Plato dan Aristoteles. Perkembangan
konsep Negara Hukum dapat dibagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu:
1.Jaman Plato dan Aristoteles
Plato
dan Aristoteles mengintrodusir Negara Hukum adalah negara yang diperintah oleh
negara yang adil. Dalam filsafatnya, keduanya menyinggung angan-angan
(cita-cita) manusia yang berkorespondensi dengan dunia yang mutlak yang disebut
:
Ø Cita-cita
untuk mengejar kebenaran (idée der warhead);
Ø Cita-cita
untuk mengejar kesusilaan (idée der zodelijkheid);
Ø Cita-cita
manusia untuk mengejar keindahan (idee der schonheid);
Ø Cita-cita
untuk mengejar keadilan (idée der gorechtigheid).
Plato
dan Aristoteles menganut paham filsafat idealisme. Menurut Aristoteles,
keadilan dapat berupa komunikatif (menjalankan keadilan) dan distribusi
(memberikan keadilan). Menurut Plato yang kemudian dilanjutkan oleh
Aristoteles, bahwa hukum yang diharapkan adalah hukum yang adil dan dapat
memberikan kesejahteraan bagi msyarakat, hukum yang bukan merupakan paksaan
dari penguasa melainkan sesuai dengan kehendak warga Negara, dan untuk mengatur
hukum itu dibutuhkan konstitusi yang memuat aturan-aturan dalam hidup
bernegara.
1.Di Daratan Eropa
(menurut paham Eropa Kontinental)
Diawali
pendapat dari Immanuel Kant yang mengartikan Negara Hukum adalah Negara Hukum
Formal (Negara berada dalam keadaan statis atau hanya formalitas yang biasa
disebut dengan Negara Penjaga Malam /Nachtwakestaat). F.J. Stahl, kalangan ahli
hukum Eropa Kontinental memberikan ciri-ciri Negara hukum (rechtstaat) sebagai
berikut :
Ø Pengakuan
terhadap hak-hak asasi manusia;
Ø Pemisahan
kekuasaan Negara;
Ø Pemerintahan
berdasarkan undang-undang;
Ø Adanya
Peradilan Administrasi.
Perumusan
ciri-ciri Negara Hukum yang dilakukan oleh F.J. Stahl kemudian ditinjau ulang
oleh International Commision of Jurist pada Konferensi yang diselenggarakan di
Bangkok tahun 1965, yang memberikan ciri-ciri sebagai berikut :
Ø Perlindungan
konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu konstitusi harus pula
menentukan cara procedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang
dijamin;
Ø Badan
Kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
Ø Pemilihan
Umum yang bebas;
Ø Kebebasan
menyatakan pendapat;
Ø Kebebasan
berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
Ø Pendidikan
Kewarganegaraan.
1.Indonesia, dalam
Seminar Nasional Indonesia tentang Indonesia Negara Hukum
Pada
tahun 1966 di Jakarta diadakan Seminar Nasional Indonesia tentang Indonesia
Negara Hukum. Yang mana salah satu hasil Seminar adalah dirumuskannya
prinsip-prinsip Negara Hukum yang menurut pemikiran saat itu, prinsip ini dapat
diterima secara umum. Prinsip-prinsip itu adalah :
1. Prinsip-prinsip
jaminan dan perlindungan terhadap HAM;
2. Prinsip
peradilan yang bebas dan tidak memihak, artinya :
Ø Kedudukan
peradilan haruslah independen tetapi tetap membutuhkan pengawasan baik internal
dan eksternal.
Ø Pengawasan
eksternal salah satunya dilaksanakan oleh Komisi Ombudsman (dibentuk dengan
Keppres No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman) yaitu Lembaga Pengawas
Eksternal terhadap Lembaga Negara serta memberikan perlindungan hukum terhadap
publik, termasuk proses berperkara di Pengadilan mulai dari perkara diterima
sampai perkara diputus.
Menurut
Sri Soemantri yang terpenting dalam Negara hukum , yaitu :
Ø Bahwa
pemerintahan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan hukum
atau peraturan perundang-undangan;
Ø Adanya
jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warganya);
Ø Adanya
pembagian kekuasaan dalam Negara;
Ø Adanya
pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle).
Istilah
negara hukum ada yang menyebutnya dengan Rechsstaat dan ada pula disebut dengan
Rule of Law. Sarjana Eropa Kontinental menyebutnya dengan Rechsstaat. Sarjana
Hukum Anglo Saxon (Inggeris dan Amerika) menyebutkan negara hukum dengan Rule
of Law.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak
berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat) dan Pemerintahannya berdasar atas
sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang
tidak terbatas). Menurut Montesqueu, negara yang paling baik ialah negara hukum
sebab di dalam konstitusi di banyak negara mempunyai tiga inti pokok yaitu:
Perlindungan HAM; Ditetapkannya ketatanegaraan suatu negara; Membatasi
kekuasaan dan wewenang organ-organ negara.
Disamping
itu salah satu tujuan Negara Hukum adalah memperoleh setinggi-tingginya
kepastian hukum (rechtzeker heid) bagi warganya. Kepastian hukum menjadi makin
dianggap penting bila dikaitkan dengan ajaran negara berdasar atas hukum. Telah
menjadi pengetahuan klasik dalam ilmu hukum bahwa hukum tertulis dipandang
lebih menjamin kepastian hukum dibandingkan dengan hukum tidak tertulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar